Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) baru saja merilis survei 2025, hasilnya cukup mengejutkan. Untuk pertama kalinya, Facebook tidak lagi menjadi platform terpopuler di Indonesia. Posisi itu kini diambil alih TikTok, yang dalam dua tahun terakhir berhasil menarik pengguna dari berbagai kalangan usia, terutama Gen Z.
Survei APJII mencatat, lebih dari 70 persen responden mengaku menggunakan TikTok secara rutin setiap hari. Sementara itu, Facebook mengalami penurunan signifikan, terutama di kalangan anak muda. Platform besutan Meta itu kini lebih banyak digunakan oleh kelompok usia di atas 35 tahun, yang cenderung menggunakan Facebook untuk komunitas dan marketplace.
Fenomena ini menunjukkan adanya pergeseran budaya digital. TikTok berhasil menghadirkan konten video pendek yang lebih sesuai dengan pola konsumsi cepat generasi muda. Algoritma yang personal dan hiburan instan menjadikan aplikasi asal Tiongkok ini unggul dibanding Facebook yang dianggap “kuno” oleh sebagian besar remaja.
Di sisi lain, Instagram tetap bertahan sebagai platform dengan basis pengguna yang solid. Namun, dominasi TikTok menandai era baru dalam persaingan media sosial. Platform yang dulu dianggap sekadar hiburan kini berkembang menjadi ruang ekonomi digital, politik, bahkan pendidikan informal.
Pengamat komunikasi digital, Devie Rahmawati, menilai perubahan ini wajar. “Generasi muda mencari platform yang bisa menampilkan identitas mereka dengan cepat dan langsung. TikTok memberi panggung untuk kreativitas tanpa harus rumit. Itu yang membuat mereka betah,” ujarnya.
Efek domino dari pergeseran ini juga terasa di dunia pemasaran. Brand besar mulai mengalihkan bujet iklan dari Facebook Ads ke TikTok Ads. Konten kreator muda semakin dilirik, dan kampanye viral menjadi strategi utama. Hasil survei APJII memperkuat tren ini: konsumen kini lebih mudah terpengaruh oleh konten singkat yang emosional ketimbang iklan panjang tradisional.
Namun, perubahan ini juga menimbulkan kekhawatiran. TikTok kerap dikritik karena memfasilitasi konten yang tidak selalu sesuai standar, dari hoaks hingga konten berbahaya. Pemerintah Indonesia bahkan sempat menegur platform ini agar lebih serius memberantas disinformasi dan perjudian online. “Popularitas harus diimbangi dengan tanggung jawab,” tegas Kementerian Kominfo dalam keterangan resminya.
Bagi Facebook, kehilangan dominasi di Indonesia menjadi peringatan keras. Meski masih punya basis pengguna kuat di level global, Facebook harus beradaptasi lebih jauh untuk menarik kembali generasi muda. Tanpa inovasi signifikan, platform itu akan semakin identik dengan kelompok usia tua.
Di ruang publik, pergeseran ini mengajarkan bahwa media sosial bukan hanya alat komunikasi, tapi arena politik, ekonomi, dan budaya. Satu aplikasi bisa mengubah cara orang berinteraksi, belajar, bahkan berbelanja. TikTok, dengan semua kontroversinya, kini resmi menjadi pusat gravitasi digital di Indonesia.
Pertanyaannya, apakah dominasi TikTok akan bertahan lama, atau sekadar tren sesaat? Sejarah menunjukkan, tidak ada platform yang abadi di puncak. Tetapi untuk saat ini, wajah media sosial Indonesia sudah berubah: singkat, cepat, viral, dan penuh tarikan layar ke atas.
