Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Mukhtarudin, menegaskan arah baru kebijakan migrasi Indonesia, yaitu perlindungan pekerja harus dimulai sejak niat untuk berangkat, bukan setelah masalah terjadi.
Di bawah kepemimpinannya, Kementerian P2MI bertransformasi dari lembaga administratif menjadi institusi yang menempatkan manusia sebagai pusat kebijakan.
“Negara tidak boleh datang setelah masalah terjadi. Perlindungan harus dimulai sejak niat untuk berangkat,” ujar Mukhtarudin, Jumat (17/10/2025).
Langkah itu diwujudkan melalui integrasi data nasional pekerja migran antara Kementerian P2MI dan Kementerian Luar Negeri. Dengan sistem ini, setiap pekerja migran dapat dipantau secara real-time oleh pemerintah dan perwakilan RI di luar negeri.
Kebijakan tersebut melengkapi peluncuran sistem Migrasi Aman, platform digital yang memungkinkan calon PMI mengakses seluruh proses keberangkatan tanpa perantara. Proses perizinan dan verifikasi kini bisa dilakukan secara transparan, cepat, dan terintegrasi.
“Langkah ini bukan sekadar inovasi teknologi, melainkan koreksi terhadap cara lama yang terlalu birokratis,” kata Mukhtarudin.
Selain memperkuat sisi digital, Mukhtarudin juga menekankan pentingnya pendidikan vokasi bagi calon pekerja migran. P2MI bekerja sama dengan lembaga pelatihan nasional dan mitra internasional untuk memastikan tenaga kerja Indonesia berdaya saing dan dihormati.
“Tenaga kerja terampil akan dihormati. Itulah perlindungan sejati,” tegasnya.
Gerakan sosial turut digencarkan melalui kerja sama dengan Pemuda Masjid Dunia dalam kampanye kesadaran migrasi aman di tingkat komunitas. Menurut Mukhtarudin, perlindungan pekerja migran adalah tanggung jawab bersama, bukan semata urusan negara.
Kebijakan ini berpuncak pada Mandaya Awards 2025, penghargaan bagi tokoh dan komunitas yang berperan dalam pemberdayaan PMI dan masyarakat desa. Bagi Mukhtarudin, penghargaan itu bukan seremoni, melainkan simbol penghormatan negara kepada rakyat yang berjuang di luar negeri.
Pengamat kebijakan migrasi, Romadhon Jasn, menilai arah kebijakan Mukhtarudin menggabungkan tiga dimensi utama, yakni kolaborasi antar-lembaga, digitalisasi data, dan pemberdayaan manusia.
“Beliau tidak hanya membangun sistem, tapi mengembalikan makna negara sebagai pelindung warganya. Dari sinilah migrasi aman menemukan martabatnya,” ujarnya.
Romadhon juga menilai integrasi data P2MI–Kemlu sebagai langkah monumental. Selama ini, banyak kasus PMI tak tertangani karena data tersebar di berbagai instansi.
“Sekarang, dengan sistem terpadu, negara bisa hadir dalam hitungan menit saat krisis terjadi,” tambahnya.
Saat ini tercatat lebih dari 4,3 juta PMI aktif di 22 negara dengan remitansi mencapai Rp180 triliun per tahun. Namun bagi Mukhtarudin, angka bukanlah ukuran utama.
“Keberhasilan bukan hanya berapa uang yang dikirim, tapi berapa banyak yang pulang dengan rasa aman dan harga diri yang utuh,” pungkasnya.
Ketika negara mulai menghitung manusia lebih dari remitansi, di sanalah perubahan dimulai. Dan dalam perubahan itu, Mukhtarudin menjahit ulang relasi antara negara dan rakyatnya yang bekerja jauh dari tanah air, bukan sekadar sebagai pekerja, melainkan sebagai wajah martabat bangsa di dunia.
